JURNAL REFLEKSI CGP MINGGU KE 1

Agustus 23, 2021

JURNAL REFLEKSI MINGGU 1

Wardayadi CGP Angkatan 3

23 AGUSTUS 2021

Awal pelaksanaan kegiatan Program Guru Penggerak, saya masih mengalami kebingungan  antara lain tentang  pola pelaksanaan, pemakaian LMS, banyaknya tugas serta pembagian waktu antara menjalankan tugas pokok sebagai guru dengan mengikuti PGP ini. Setelah seminggu ini kebingungan itu mulai tidak terasakan justru memberikan semangat dan tantangan untuk mengikuti PGP ini. Semangat itu muncul setelah berkolabirasi dengan teman sejawat dalam mempelajari topik materi yang ada di LMS yang dipandu oleh Fasilitator dan penyampaian dari Instruktur Nasional. Materi pada minggu ini terdapat tiga topik materi yaitu 1) Mulai Dari Diri yang berisi Refleksi Diri Tentang Pemikiran KHD, 2) Eksplorasi Konsep berisi tentang konsep-konsep pemikiran KHD dalam pendidikan, 3) Ruang Kolaborasi berisi mendesain kerangka pembelajaran seuai dengan pemikiran KHD. Konsep-konsep materi yang saya dapat antara lain perbedaan pendidikan dengan pengajaran, menuntun, kodrat alam dan kodrat zaman, konsep budi pekerti, konsep merdeka belajar, semboyan KHD, sistem among, desain kerangka pembelajaran, profil pelajar pancasila. Konsep materi yang saya dapat tersebut menjadikan landasan dalam menjalankan peran sebagai seorang calon guru penggerak.

Membaca materi di LMS dan setelah mendapat penjelasan dari narasumber ternyata ada beberapa hal yang berbeda dalam praktik mengajar saya selama ini. Gagasan yang berbeda yaitu pendapat tentang “menuntun”. Selama ini konsep tersebut hanya saya pahami dan saya praktikkan sebatas menjadi seorang pengajar di sekolahan, ternyata makna menuntun itu lebih luas filosofinya bukan sekedar memberikan mentrasfer ilmu namun bermakna membimbing, mengarahkan anak sesuai kodratnya sampai mencapai keselamatan dan kebahagian setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.

Banyak konsep yang saya dapat setelah mempelajari pemikiran KHD dalam materi selama seminggu ini yaitu :

  1. Konsep pendidikan dan pengajaran,
  2. Konsep Tujuan Pendidikan
  3. Konsep Budi Pekerti
  4. Konsep Among
  5. Konsep Semboyan KHD
  6. Konsep Merdeka Belajar
  7. Konsep Profil Pelajar Pancasila

Konsep diatas merupakan konsep utama senantiasa perlu saya terapkan sebagai seorang calon guru penggerak, bahkan sampai menjadi guru penggerak nantinya. Konsep tersebut sangat menginspirasi dalam hal menjalankan tugas sebagi seorang pendidik iklas dan merdeka. Memang sangat berat untuk menjalankan konsep diatas namun akan terbayar dengan melihat peserta didik menjadi anak yang menpunyai budi pekerti mulia dan bijaksana serta pelajar pancasila. Perubahan pada diri yang ingin saya laulan setelah mendapat materi pada minggu ini terkait dengan pelaksanaan proses pembelajaran yang berpusat sepenuhnya pada peserta didik yang mempunyai karakteristik berbeda-beda. Perubahan diri ini saya utamakan untuk mewujudkan merdeka belajar sehingga tercapailah pelajar pancasila. Disini saya berperang hanya sebagi penuntun atau fasilitator dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik akan merasa senang dan tanpa terbebani dalam mengikuti proses pembelajaran yang saya laksanakan.


3.3.a.10. Aksi Nyata Pengelolaan Program yang Berdampak pada Murid

April 21, 2022

PROGRAM PENINGKATAN KREATIFITAS, KEMANDIRIAN DAN JIWA KEWIRAUSAHAAN MELALUI PEMBERDAYAAN KOPERASI SISWA

SMA NEGERI 1 BAMBANGLIPURO

Oleh:

Wardayadi, S.Pd. M.M

A. PERISTIWA (FACT)

Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam mendidik anak, guru hanyalah sebagi penuntun sesuai kodrat anak dalam menggapai keselamatan dan kebahagiaan. Jadi dalam mendidik guru harus mampu merancang danan melaksanakan program yang berdampak pada murid. Program yang saya rancang yaitu meningkatkan kreatifitas, kemandirian dan jiwa kewirausahaan melalui pemberdayaan koperasi siswa. Program ini dipilih karena kondisi murid sesuai hasil observasi menunjukan banyak yang kurang kreatif, kurang mandiri. Kondisi tersebut belum pernah ditindaklanjuti penyelesaiaanya dalam bentuk program sekolahan. Selain itu koperasi siswa yang seharusnya sangat potensial untuk wadah belajar kreatifitas, kemandirian dan berwirausaha kondisinya tidak berjalan bahkan bisa dibilang sudah macet. Dengan latar belakang tersebut maka diperlukan suatu program yang mampu meningkatan kreatifitas, kemadirian dan jiwa kewirausahaan melalui pemberdayaan koperasi siswa. Pragram ini secara bersamaan mampu memberdayaakan koperasi siswa yang semula sudah macet dan sekaligus meningkatkan kreatifitas, kemandirian dan jiwa wirausaha murid.

Program ini dirancang dan dilaksanakan dengaan melibatkan murid. Keterlibatan murid diantaranya 1) murid diajak dialog dalam menentukan program pengembangan koperasi siswa, 2) murid diberikan kesempatan membuat proposal usaha untuk pengembangan koperasi sekolah, 3) murid melakukan praktik pengelolaan usaha koperasi siswa untuk meningkatkan kreatifitas, kemandirian dan jiwa wirausaha. Keterlibatan murid dalam program ini harapannya dapat berjalan lancar dan berdampak positif pada murid. Program ini bertujuan meningkatkan kreatifitas, kemandirian dan jiwa kewirausahaan murid untuk menghadapi tantangan zaman. Program ini berbasis aset yang dimiliki SMA N 1 Bambanglipuro, utamanya aset-aset yang ada dan siap diberdayakan. Kapasitas Aset yang mendukung program ini diantaranya: 1) modal manusia berupa murid, guru, kepala sekolah, wali kelas dan pengurus kopsis. 2) modal sosial berupa OSIS, Kopsis. 3) modal fisik berupa bangunan sekolah dan bangunan kopsis. 4) modal lingkungan berupa lingkungan sekitas sekolah yang banyak usaha makanan olahan yang bisa dijadikan tempat studi tiru bagi siswa dalam membuat proposal usaha koperasi siswa. 5) modal finansial berupa modal koperasi siswa itu sendiri dan iuran siswa dalam mewujudkan praktik usaha di kopsis.

Langkah-langkah program aksi nyata ini sebagai berikut:

  1. Observasi terhadap kondisi murid dan keadaan Kopsis terkini
  2. Menyusun rencana program dan berkonsultasi dengan kepala sekolah
  3. Pembentukan pengurus koperasi, tim pelaksana, dan tim monitoring
  4. Identifikasi kapasitas aset yang dimiliki
  5. Launcing kegiatan usaha koperasi siswa
  6. Sosialisasi program pemberdayaan koperasi siswa
  7. Pembuatan proposal usaha di koperasi siswa
  8. Praktik usaha sesuai proposal yang diajukan
  9. Pembuatan laporan praktik usaha
  10. Monitoring dan evaluasi program
  11. Refleksi program

Langkah ini membutuhkan waktu minimal 4 minggu sesuai yang ditargetkan dalam LMS dengan sararan murid kelas X baik jurusan MIPA dan IPS. Adapun dukungan yang dimiliki pada pelaksanaan program ini antara lain dari kepala sekolah, teman sejawat, murid, pengurus koperasi siswa, OSIS dan MPK.

Pelaksanaan program peningkatan kreatifitas, kemandirian dan jiwa kewirausahaan melalui pemberdayaan koperasi siswa secara umum berjalan dengan lancar sesuai tahapan/langkah diatas. Observasi terhadap kondisi murid dan kondisi koperasi sekolah dilaksanakan pada Senin 21 Maret 2022 dengan mengamati keadaan koperasi dan mengamati tingkat kemandirian dan kreatifitas murid kelas X. Hasil pengamatan diketahui kondisi koperasi siswa mengalami kemacetan dan tingkat kemandirian dan kreatifitas murid rendah. Berdasar hasil observasi tersebut, selanjutnya pada hari itu juga melaksanakan tahapan mulai menyusun detail program dan berkonsultasi dengan kepala sekolah serta meminta masukan dari murid. Pada Senin 28 Maret 2022 dibentuk pengurus koperasi siswa, tim pelaksana program dan tim monitoring program. Pembentukan kepengurusan dan tim tersebut dilaksanakan dengan musyarawah mufakat yang dihadiri oleh anggota OSIS, MPK, perwakilan guru dan kepala sekolah. Tahap selanjutnya pengurus koperasi definitif pada Selasa 29 Maret 2022 mengidentifikasi aset-aset yang dimiliki koperasi siswa dan aset-aset sekolah yang dapat mendukung kelancaran kegiatan koperasi sekolah. Hasil identifikasi ini diketahui koperasi siswa masih mempunyai perabot, modal berupa uang tunai yang dititipkan ke koperasi pegawai dan kapling tempat usaha di dekat kantin sekolah. Setelah aset tersebut disatukan dan modal usaha berupa uang tunai diminta sebagai modal awal untuk memulai usaha lagi, maka pada hari Senin, 4 April 2022 melakukan launcing usahanya. Usaha awal yang dilakukan koperasi siswa yaitu menjual produk-produk kebutuhan sekolah murid.

Gambar 1. Pembentukan Panitia Pelaksasana, Monev dan Pengurus Koperasi Siswa.

Gambar 2. Identifikasi Aset Sekolah yang Mendukung Koperasi Siswa.

Gambar 3. Revitalisasi dan Pemberdayaan Koperasi Siswa.

Kegiatan usaha koperasi sekolah perlu dikembangkan dan supaya berdampak pada murid. Untuk mewujudkannya perlu pemberdayaan koperasi sekolah sebagai wahana berlatih kemandirian, kreatifitas dan jiwa kewirausahaan murid. Program ini disosialisasikan kepada murid lewat wali kelas masing-masing pada hari Selasa 5 April 2022 melalui acara brifing. Sosialisasi program ini intinya setiap kelas dibagi 5 kelompok untuk membuat proposal usaha di koperasi sekolah. Pembuatan proposal usaha diberikan waktu selama tujuh hari dari tanggal 5 s/d 11 April 2022. Setelah semua proposal usaha terkumpul kemudian diadakan review proposal supaya proposal usaha menjadi lebih baik. Tahapan selanjutnya setiap kelompok secara bergiliran merealisasikan proposal usaha yang sudah dibuat dan direview oleh guru. Kegiatan usaha kelompok dilakukan di koperasi sekolah setiap hari 5 kelompok (1 kelas). Praktik usaha kelompok di koperasi sekolah membutuhkan waktu selama 5 hari. Setelah praktik usaha kelompok selesai dilanjutkan masing-masing kelompok membuat laporan praktik usaha. Laporan ini berisi proses pembuatan produk sampai penjualan produk di koperasi sekolah termasuk laporan keuangannya masuk kategori laba atau rugi. Tahapan pelaksanaan program ini dimonitoring oleh tim pada tahap praktik usaha kelompok dan di evaluasi di akhir program. Pada akhir program juga diadakan sebuah refleksi program yang dijadikan dasar untuk perbaikan atau perubahan pada program ke depannya.

Gambar 4. Sosialisasi Program Pemberdayaan Koperasi Siswa pada Guru.

Gambar 5. Sosialisasi Program Pemberdayaan Koperasi Siswa pada Murid.

Gambar 6. Pendampingan Pembuatan Proposal Usah di Koperasi Siswa.

Gambar 7. Aneka Produk Hasil Karya Murid di Koperasi Siswa.

Hasil dari aksi nyata pelaksanaan program ini diantaranaya:

  1. Terciptanya lingkungan sekolah yang dapat menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.
  2. Koperasi sekolah menjadi lebih berdaya guna dalam mendukung proses pembelajaran murid.
  3. Aktifitas koperasi sekolah menjadi tumbuh dan menghasilkan laba.
  4. Peningkatan kreatifitas, kemandirian murid.
  5. Tumbuhnya jiwa kewirausahaan murid.

Gambar 8. Pemberdayaan Koperasi Siswa sebagai Wahana Kegiatan Murid

B. PERASAAN (FEELING)

Aksi nyata program peningkatan kreatifitas, kemandirian dan jiwa kewirausahaan melalui pemberdayaan koperasi siswa terlaksana sudah sesuai dengan rencana yang dibuat. Aksi nyata ini memakan waktu kurang lebih satu bulan sesuai dengan lini masa yang sudah ditentukan. Secara garis besar pelaksanaan aksi nyata menimbulkan perasaan yang terbagi dua hal yaitu perasaan terkait dalam pembuatan rencana program dan perasaan terkait setelah pelaksanaan program selesai.

Perasaan saya pada saat membuat rencana program yang berdampak pada murid yaitu merasa tertantang untuk mewujudkan rencana program yang bagus supaya membawa dampak perubahan terhadap murid di sekolahan. Murid diharapkan dapat meningkat kreatifitas, kemandirian dan jiwa kewirausahaan sehingga akan terwujud profil pelajar pancasila. Selain itu guru juga berkontribusi dalam mewujudkan transformasi pendidikan yang dimulai dari perubahan-perubahan kecil dari kelas dan sekolah masing-masing. Perasaan setelah selesai melakukan aksi nyata program ini, saya merasa bahagia dan lega karena program berjalan lancar dan berdampak langsung terhadap peningkatan kreatifitas, kemandirian dan jiwa kewirausahaan murid. Selain itu program ini juga mampu mendorong munculnya kolaborasi antara murid, guru, kepala sekolah, dan karyawan. Dengan dasar capaian program tersebut kiranya program ini perlu dijalankan secara berkelanjutan dengan beberapa modifikasi.

C. PEMBELAJARAN (FINDING)

Pembelajaran yang didapat dari aksi nyata program ini antara lain: 1) Suatu program sekolah bila dirancang dengan memperhatikan keterlibatan murid (suara, pilihan dan kepemilikan) dan dikelola dengan berbasis aset sekolah maka dalam pelasanaannya dapat berjalan lancar, efektif dan efisien. 2) Program ini mampu meningkatkan kreatifitas, kemandirian dan jiwa kewirausahaan sekaligus memberdayakan aset sekolah berupa koperasi siswa. Koperasi siswa yang sebelumnya mati suri bertahu-tahun menjadi melai berjalan dan tumbuh lagi. 3) Program ini juga berkontribusi menggerakkan transformasi pendidikan dan mewujudkan profil pelajar pancasila. Dengan tiga capaian tersebut memberikan semangat untuk membuat program-progran lain ke depannya yang berdampak pada murid.

Tentunya pelaksanaan program aksi nyata ini tidak semuanya berjalan mulus, namun tetap ditemukan juga hambatan yaitu waktu pelaksanaan program ini bertepatan dengan bulan puasa dan pelaksanaan TPHBS serta ujian sekolah. Hal tersebut menyebabkan kurangnya durasi waktu untuk pelaksanaan aksi nyata. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan sedikit perubahan terkait jadwal pelaksanaan aksi nyata. Aksi nyata dilaksanakan memakai waktu-waktu yang tidak mengganggu kegiatan TPHBS dan ujian sekolah. Kondisi tersebut memberikan pembelajaran dalam pelaksanaan aksi nyata harus betul-betul mempertimbangkan juga agenda kegiatan lain di sekolah sehingga tidak terbentur jadwal kegiatannya.

D. PENERAPAN KE DEPAN (FUTURE)

Program aksi nyata yang saya lakukan tentunya tidak akan begitu saja berhenti setelah program CGP selesai. Program ini akan saya lakukan secara berkesinambungan dengan beberapa modifikasi perubahan. Modifikasi perbaikan ini berdasarkan hambatan yang muncul dipelaksanaan program sebelumnya. Perbaikan program ke depan yaitu perlu ditambah durasi waktunya dan mempertimbangkan program-program sekolah yang lain supaya bisa berkolaborasi. Selain itu ke depan saya juga akan membuat program lainnya yang positif dan tentunya berdampak pada murid yang cakupannya lebih luas lagi. Dengan program tersebut dapat bergerak, tergerak dan menggerakkan semua pemangku kepentingan yang ada di sekolah untuk transformasi pendidikan dalam rangka merdeka belajar dan mewujudkan profil pelajar pancasila.

Demikian sebuah refleksi dari aksi nyata sebagai calon guru penggerak yang saya buat. Tentunya masih banyak kekurangannya. Saran dan kritik tentunya masih kami harapkan dari pembaca semuanya. Salam guru penggerak, merdeka belajar. Salam dan bahagia.


PASAR MODAL. – ppt download

Februari 21, 2022

Pengertian Pasar Modal Secara umum “suatu tempat bertemunya para penjual (emiten) dan pembeli (investor) untuk melakukan transaksi dalam rangka memperoleh modal”.

Sumber: PASAR MODAL. – ppt download


KONEKSI ANTAR MATERI PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Februari 20, 2022

KONEKSI ANTAR MATERI

PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Oleh : Wardayadi CGP Angkatan 3 SMA N 1 Bambanglipuro

Pendahuluan

Program Guru Penggerak (PGP) merupakan salah satu program unggulan yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait kebijakan merdeka belajar. Tujuan Program Guru Penggerak (PGP) ini adalah untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan dan kependidikan guru sehingga mampu menghasilkan profil guru penggerak yang mampu mewujudkan murid yang mempunyai profil pelajar pancasila. Guru setelah mengikuti program ini diharapkan memiliki profil guru penggerak sebagai berikut: 1) mengembangkan diri dan guru lain dengan refleksi, berbagi, dan kolaborasi; 2) memiliki kematangan moral, emosional, dan spiritual untuk berperilaku sesuai kode etik; 3) merencanakan, menjalankan, merefleksikan, dan mengevaluasi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan melibatkan orang tua; 4) mengembangkan dan memimpin upaya mewujudkan visi satuan pendidikan yang mengoptimalkan proses belajar peserta didik yang berpihak pada peserta didik dan relevan dengan kebutuhan komunitas di sekitar satuan pendidikan; dan 5) berkolaborasi dengan orang tua peserta didik dan komunitas untuk pengembangan satuan pendidikan dan kepemimpinan pembelajaran.

Guru yang sudah mempunyai profil sebagai guru penggerak diharapkan mempu untuk mewujudkan muridnya menjadi pelajar yang mempunyai profil pelajar pancasila. Adapun profil pelajar pancasila yaitu perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Patrap Triloka Ki Hajar Dewantara dalam Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran.

Patrap Triloka menurut Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Hndayani, yang artinya di depan memberi teladan di tengah membangun motivasi di belakang memberikan dukungan. Sebagai guru hendapkanya didepan menjadi teladan karakter nilai-nilai kebajikan bagi muridnya misalnaya, kedisiplinan, kejujuran, sopan santun, belajar sepanjang hayat. Pada saat di tengah, guru mampu memberikan motivasi terhadap muridnya, baik motivasi ekstrinsik maupun motivasi instrisik (mativasi dari dalam). Di belakang guru mampu memberikan dukungan dalam hal murid meraih cita-cita yang diinginkan.

Guru sebagai pemeimpin pembelajar tentunya dalam pengambilan keputusan pembelajaran harus berpegang pada filosofi KHD patrap triloka. Guru dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya menjadi teladan bagi muridnya dalam hal konsistensi menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan sehingga murid akan mengikuti apa yang diputuskannya. Keputusan yang diambil guru juga mampu menunjukan etika yang benar dan tepat sehingga murid juga mampu menerapkan etika dalam proses pembelajaran dan di lingkungannya. Selain itu guru dalam pengambilan keputusan juga mampu mendorong murid untuk belajar pengambilan keputusan dalam rangka mengatasi permasalahan yang mereka hadapi baik dalam belajar maupun dalam kehidupan sehari-hari. Proses pengambilan keputusan guru sebagai pemimpin pembelajaran ini hendaknya memberikan inspirasi bagi murid. Murid akan terampil juga dalam pengambilan keputusan yang didasarkan pada 4 paradigma etika, 9 langkah pengambilan keputusan dan 3 prinsip pengambilan keputusan.

Pengaruh Nilai-Nilai dalam Pengambilan Keputusan

Sekolahan merupakan lingkungan belajar yang harus diupayakan menjadi sebuah lingkungan yang ramah anak sehingga mampu membuat murid lebih nyaman belajar dalam menggapai cita-citanya. Lingkungan sekolah yang nyaman akan terwujud bila budaya positif dapat diterapkan. Budaya positif yang dijalankan tentunya akan menerapkan nilai-nilai kebaikan yang universal dan dijunjung tinggi. Nilai kebajikan yang diterapkan di lingkungan sekolah diantaranya kedisiplinan, kejujuran, sopan santun, toleransi, keadilan, kebersamaan, menjaga kebersihan dan lain-lain.

Pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran yang efektif hendaknya mampu merefleksikan nilai-nilai kebajikan yang sudah dijalankan dan dijunjung tinggi dalam lingkungan sekolahnya. Pengambilan keputusan di lingkungan pendidikan terkadang memunculkan dilema etika, kita dituntut untuk memilih antara benar dan benar sehingga memunculkan rasa bingung dalam memilihnya. Sebagai acuan biasanya ada 4 kategori paradigma dilema etika yaitu: 1) Individu lawan masyarakat (individual vs community), 2) Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), 3) Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty) 4) Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term). Suatu situasi yang perlu pengambilan keputusan biasanya bisa mengandung 1 atau lebih unsur dilama di atas. Guru sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu memilih salah satu keputusan. Keputusan yang dipilih tentunya keputusan yang efektif yang mampu merefleksikan nilai kebajikan yang dijunjung tinggi di sekolahannya. Keputusannya juga berdampak baik dan tentunya harus berpihak pada murid serta sesuai visi sekolah.

Coaching dalam Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan yang efektif dalam dunia pendidikan tentunya sangat sulit diterapkan, namun sesulit apapun tetap harus diupayakan denga baik. Pengambilan keputusan yang efektif merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dilatih dan dipelajari secara rutin. Model belajar pengambilan keputusan di dunia pendidikan yang cocok dengan model choaching. Choac adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999)

Coaching yang dilakukan oleh fasilitator, pengajar praktik maupun rekan sejawat dalam belajar pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran dilakukan dengan mempraktikan dalam study kasus. Choaching dilakukan dengan memakai suatu study kasus, guru diminta untuk menganalisa kasus tersebut berlandasan 4 paradigma dilema etika, 9 langkah pengambilan keputusan dan 3 prinsip pengambilan keputusan. Fasilitator memberikan bimbingan dan memeksplorasi potensi yang dimiliki oleh guru untuk bekal dalam menganalisa suatu kasus dilema. Teman sejawat berperan sebagai kolaborator masukan dalam proses pengambilan keputusan.

Adanya choaching ini memberikan tambahan ketrampilan bagi guru dalam praktik pengambilan keputusan di sekolah masing-masing. Guru sebelum menentukan keputusan tentunya akan menggali berbagai informasi yang di peroleh dari murid dan teman sejawat sehingga keputusannya menjadi lebih efektif dan tepat serta berpihak pada murid. Sehingga keputusan yang diambil mampu menuntun murid dalam mewujudkan merdeka belajar.

Aspek Sosial Emosional dalam Pengambilan Keputusan

Pembelajaran sosial emosional mementingkan percapaian belajar yang berkarakter atau berbudi pekerti. Kompetensi karakter yang akan dicapai adalah: 1) kompetensi kesadaran diri, 2) kompetensi pengelolaan diri, 3) kompetensi sosial, 4) kompetensi ketrampilan relasi, 5) kompetensi pengembilan keputusan yang bertanggung jawab. Guru dalam proses pembelajaran dan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu mewujudkan 5 kompetensi tersebut. Pengambilan keputusan yang dimaksud disini adalah pengambilan keputusan yang mempertimbangkan aspek sosial emosional yang mempunyai 5 kompetensi.

Pengambilan keputusan yang meempetimbangkan aspek sosial emosional tentunya merupakan keputusan yang sudah dilakukan dengan kesadaran penuh, pengelolaan situasi, sudah mempertimbangkan dampak sosial, sudah dikomunikasikan dengan baik, dan sudah mengetahui resiko yang muncul setelah keputusan diambil dan keputusan dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan yang diambil ini tetunya akan membawa dampak positif pada situasi pembelajaran di lingkungan sekolah sehingga keputusan yang diambil mendorong tercapainya suatu visi sekolah.

Pengaruh Studi Kasus Moral dan Etika terhadap Nilai-Nilai Pendidik

Guru dalam pengambilan keputusan tentunya akan mencerminkan nilai-nilai kebajikan yang dimiliki dan dijunjung tinggi di lingkungan tempat mengajar. Dalam studi kasus memberikan dilema etika/nilai antara benar dan benar sehingga sebagai guru diharapkan mampu melih salah satu keputusan bahkan mampu memunculkan keputusan yang diluar dugaan yang paling tepat sesuai kondisi nilai-nilai di lingkungan pendidikan. Jadi dengan adanya studi kasis dalam modul ini memberikan tambahan wawasan terhadap guru dalam pengambilan keputusan. Memang pada awalnya sebelum mempelajari modul ini biasanya keputusan yang diambil kebanyakan dilandaskan pada intuisi saja.

Dampak Pengambilan Keputusan yang Tepat

Pengambilan keputusan yang sebelumnya sudah dianalisis dengan cermat dan mempertimbangkan berbagai aspek tentunya akan menjadi sebuah keputusan yang tepat dan efektif. Analisa yang dilakukan yaitu dengan memperhatikan apakah bujukan moral atau dilema etika. Bila bujukan moral tentunya sangat mudah untuk mengambil keputusan karena disitu hanya mengandung nilai benar dan salah, sehingga keputusannya pasti memilih yang benar. Namun bila dihadapkan dilema nilai yang mengandung benar lawan benar tentunya menjadi sulit untuk memilih. Maka sebelum menentukan pilihan sebagai pengambilan keputusan diperlukan analisis situasi kasus yang dihadapi dengan cara mengidentifikasi paradigma dilema etika kemudian menganalisis dengan 9 langkah pengambilan keputusan dan menetukan prinsip apa yang dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Apabila pengambilan keputusan sudah sesuai dengan tahapan analisa diatas dan melalui pengujian dilakukan secara lengkap, maka keputusan yang diambil tidak akan beresiko, keputusan yang diambil akan menghasilkan keefektifitasan yang dilihat melalui adanya dukungan dan penerimaan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, hal tersebut akan berdampak pada kondisi lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Kesulitan yang Muncul di Lingkungan Sekolah

Kesulitan yang muncul saat pengambilan keputusan terutama dalam menentukan pilihan dilema etika. Karena hal ini berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan yang dianut. Dalam memutuskan suatu kasus, akan dijumpai pertentangan pemilihan paradigma dilema etika karena adanya perbedaan nilai-nilai kebajikan yang di anut. Kendala lainnya yakni adanya perbedaan nilai-nilai kebajikan yang dianut sehingga menghasilkan keputusan dengan paradigma dilema etika yang berbeda. Hal ini akan berlanjut pada berbedanya pandangan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam kasus yang mempersulit tercapainya kesepakatan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari masalah perubahan paradigma di lingkungan dimana kasus terjadi.

Pengambilan Keputusan dan Merdeka Belajar

Pengambilan keputusan dalam pembelajaran akan mempengaruhi terhadap proses pembelajaran diterapkan. Apabila guru telah memutuskan dan memilih pembelajaran yang berdiferensiasi, tentunya proses pembelajaran sudah mendasarkan pada kebutuhan murid yang sifatnya mempunya kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Proses pembelajaran yang demikian itu telah memerdekaan murid. Saat guru memutuskan untuk menggunakan game atau ice breaking pun berarti guru tersebut telah memilih memerdekakan murid dengan cara membahagiakan peserta didik melalui pembelajaran yang mennyenangkan. Kondisi proses pembelajaran tersebut merupakan proses pembelajaran yang Merdeka Belajar

Pengambilan Keputusan dan Masa Depan Murid

Guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran harus memahamid dengan baik paradigma pengambilan keputusan, salah satunya seperti paradigma jangka panjang versus jangka pendek. Ketika dihadapkan dalam sebuah kasus, maka penting bagi seorang pendidik untuk mengkaji secara mendalam apakah keputusan yang diambil untuk peserta didiknya dapat mempengaruhi masa depan muridnya. Apabila dala mengambil keputusan tidak diperhitungkan dampak jangka panjang, ini akan berpengaruh terhadap masa depan anak. Misalkan pada kasus yang ada pada modul 3.1 terkait kasus seorang siswa yang terancam tidak lulus apabila guru yang mengetahui siswa tersebut mencontek dan melaporkan kejadian tersebut kepada kepala sekolah, padahal siswa yang bersangkutan telah mendapatkan beasiswa perguruan tinggi dalam bidang seni. Apabila keputusan yang diambil salah, maka ini akan berpengaruh terhadap masa depan siswa yang bersangkutan.

Kesimpulan Akhir

Secara umum, pengambilan keputusan yang dipelajari dalam modul 3.1 ini perlu dilakukan dengan teliti serta dalam kondisi dengan kesadaran penuh. Kemampuan mengelola emosi dan sosial sangat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Dalam menjalankan proses pengujian keputusan yang diambil dapat didukung melalui kegiatan coaching agar penelusuran potensi atau informasi yang digali bisa di dapatkan dengan maksimal. Melalui kegiatan coaching, akan dapat dihasilkan analisis dan pengujian yang lebih mendalam. Segala bentuk keputusan yang diambil, sebagai pemimpin pembelajaran harus di dasarkan pada filosofi pendidikan yakni menuntun seluruh kodrat alam dan kodrat zaman agar peserta didik dapat menggapai kebahagiaan dan keselamatannya. Apabila keputusan yang diambil telah sesuai dengan filosofi tersebut, maka keputusan tersebut telah berpihak pada murid. Keputusan yang diambil dapat memerdekakan murid dengan tetap pada batasan yang jelas.


KONEKSI ANTAR MATERI – COACHING

Desember 16, 2021

Oleh Wardayadi CGP Angkatan 3 SMAN 1 Bambanglipuro

A.      Kesimpulan

Menjadi guru tentunya perlu pula mempunyai ketrampilan menjadi coach, karena guru menurut Ki Hajar Dewantara adalah menuntun segala kekuatan kodrat (potensi)  agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Kemudian  apa apa yang dimaksud dengan coaching, coach dan coache? Arti oaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi,berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Coach adalah pemberi manfaat dan pelaksana kegiatan coaching sedangkan coachee adalah penerima kegiatan dan manfaat kegiatan coaching. Siswa atau  murid  di sekolah mempunyai potensi dan karakter yang berbeda-beda, Sebagai  guru, kita mempunyai tugas  untuk memfasilitasi kepada  mereka agar selalu berkembang. Kompetensi dasar yang harus kita miliki agar menjadi coach yang hebat bagi murid-murid adalah:

1.      Keterampilan membangun dasar proses coaching

2.      Keterampilan membangun hubungan baik

3.      Keterampilan berkomunikasi efektif

4.      Keterampilan memfasilitasi pembelajaran

Dari keempat kompetensi dasar tersebut di atas, sangat berkaitan  dengan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosional. Mengapa? Karena dalam proses coaching sendiri membutuhkan pendekatan sosial dan emosional kepada murid. Dimana kita harus bisa membangun hubungan baik, berkomunikasi yang baik dengan murid, dan memahami kebutuhan-kebutuhan tiap murid. Jadi dengan menguasai teknik-teknik pembelajaran berdiferensiasi, pembelajaran sosial-emosional, dan coaching, guru telah siap untuk memberikan pembelajaran yang berpihak pada murid. Karena dari ketiga pembelajaran tersebut semuanya berpusat pada murid.

Proses coaching berbeda dengan mentoring dan konseling. Seorang coach (pemberi manfaat dan pelaksana kegiatan coaching)  tidak langsung memberikan solusi atas permasalah yang dihadapi oleh coachee (penerima kegiatan dan manfaat dari kegiatan coaching) melainkan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan rangsangan atau pemantik agar coachee menemukan alternatif solusinya sendiri.

Alur coaching yang banyak digunakan adalah TIRTA. Alur tersebut  dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan dalam kegiatan coaching.  Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk menemukenali dan menggali  potensi coachee atau murid agar menjadi lebih merdeka. Melalui model TIRTA, guru diharapkan dapat melakukan praktik coaching di komunitas sekolah dengan mudah.

TIRTA adalah akronim  dari:

T: Tujuan

I: Identifikasi

R: Rencana aksi

TA: Tanggung jawab

Dari segi bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya. Anda, sebagai guru memiliki tugas untuk menjaga air itu tetap mengalir, tanpa sumbatan.

B.       Refleksi Untuk mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid ternyata tidaklah gambpang. Perlu usaha dan kerja keras serta komitmen dari seorang guru untuk memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya dan rekan sejawat sebagai coachee Salah satu caranya yaitu dengan terus meningkatkan kompetensinya. Guru dituntut untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan belajar tiap murid yang berbeda-beda dengan memberikan pembelajaran berdiferensiasi. Guru harus bisa mengenali emosi dan membangun hubungan sosial-emosional dengan murid, dan juga guru harus bisa menjadi seorang coach bagi murid-muridnya dalam rangka mengembangkan segala potensi yang ada pada murid. Guru yang berperan sebagai coach menunjukan sebuah pembelajaran yang berpihak pada murid. Untuk itu marilah kita semua belajar dan terus belajar demi kemajuan dan perkembangan murid-murid kita.


AKSI NYATA JUMPUT SAMPAH UNTUK WUJUDKAN BUDAYA POSITIF SEKOLAH

November 15, 2021

AKSI NYATA JUMPUT SAMPAH UNTUK WUJUDKAN BUDAYA POSITIF SEKOLAH

oleh : Wardayadi

Tujuan Pendidikan menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Guru disini sebagai penuntun dan pendidikan sebagai tuntunan, maksudnya tumbuhnya anak itu diluar kehendak kita sebagai guru namun anak akan tumbuh sesuai dengan kekuatan kodratnya, Guru hanya bisa menuntun tumbuhnya kekuatan kodrat tersebut. Keadaan tersebut bisa dianalogikan seperti petani dalam merawat tanaman. Pak Tani tidak bisa mengubah tanaman padi tumbuh menjadi tanaman jagung. Pak Tani hanya bisa menuntun tumbuhnya padi dengan memperbaiki kondisi tanah, merawat tanaman padi dari hama dan memberi pupuk serta air. Jadi guru disini ibaratnya sebagai petani yang mempunyai peranan penting dalam menjadikan tanaman tumbuh kembang menjadi subur agar berbuah lebat.

Sekolah, menurut ilustrasi di atas merupakan lingkungan tempat untuk menuntun tumbuh kembang murid sesuai kodratnya dalam rangka mencapai keselamatan dan kebahagian setinggi-tingginya. Guru harus mengusahakan lingkungan sekolah yang menyenangkan, nyaman, melindungi, dan berpihak pada murid. Kondisi lingkungan sekolah seperti itu merupakan lingkungan yang positif untuk terus diwujudkan. Sekolah juga tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat terutama budaya-budaya positif. Budaya sekolah merupakan nilai-nilai dan keyakinan baik yang terbentuk dalam jangka waktu yang lama, membutuhkan proses, semangat dan konsistensi dalam mewujudkannya. Budaya positif sekolah dapat diartikan sebagai nilia-nilai, keyakinan, ataupun kebiasaan baik di sekolah, yang diharapkan dapat memberikan iklim terwujudnya visi impian murid yaitu berprestasi dan berkarakter pancasila. Membiasakan berperilaku yang baik akan membentuk budaya positif di sekolah. Pembiasaan ini perlu aksi nyata yang dilakukan guru untuk memulai wujudkan budaya positif di sekolah. Untuk membentuk budaya positif perlu disepakati nilai-nilai kebajikan oleh semua warga sehingga menjadi kesepakatan kelas. Nilai-nilai kebajikan yang disepaki tersebut tentunya harus mengarah pada visi sekolah.

Guru dalam mewujudkan budaya positif disekolah maupun kelas mempunyai peran yang sangat penting. Guru dapat menentukan pendekatan atau setragi yang lebih efektif untuk wujudkan budaya positif tersebut. Guru memberikan contoh yang positif dalam hal perkataan, perbuatan dan berinteraksi dengan semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodo”. Guru memberikan motivasi positif dan mengontrol murid dalam bertindak dengan menerapkan “Ing Madyo Mangun Karso”. Dan “Tut Wuri Handayadi”, guru memberikan dorongan semangat untuk menjalankan nilai-nilai kebajikan. Peran penting guru disini harus diwujudkan dengan aksi nyata dalam menerapkan nilai-nilai kebajikan.

Aksi nyata yang dapat mendukung terwujudnya budaya positif dan memunculkan disiplin positif tentang nilai-nilai kebajikan perlu dilakukan oleh setiap guru. Penulis melakukan aksi nyata dengan “budaya jumput sampah” yang mempunyai nilai kebajikan tentang kebersihan. Ada dua alasan aksi nyata ini  saya laksanakan: a) Praktik budaya positif tentang peduli lingkungan bersih belum dilaksanakan secara maksimal di sekolah saya, b) mengingat kondisi lingkungan kelas/sekolah walaupun sudah tergolong bersih namun masih ada sampah-sampah yang berserakan dan warga sekolah masih merasa acuh tak acuh melihat sampah yang tidak pada tempatnya.

Tujuan dari aksi nyata budaya jumput sampah ini adalah mewujudkan kebersihan dan kenyamanan sekolah sebagai salah satu budaya positif yang mendukung terwujudnya lingkungan yang bersih, nyaman dan aman untuk belajar sehingga murid menjadi merdeka belajar. Indikator keberhasilan aksi nyata budaya jumput sampah ini ada 4 yakni: 1) warga sekolah menjalankan budaya jumput sampah, 2) kelas/sekolah menjadi bersih, 3) sampah terbuang sesuai tempatnya masing-masing, 4) adanya dokumentasi berupa foto ataupun observasi.

Pelaksanaan aksi nyata budaya jumput sampah ini perlu dukungan dari sekolah. Dukungan yang dibutuhkan yaitu pihak yang dibutuhkan dan alat yang dibutuhkan. Pihak dukungan yang dibutuhkan yaitu dari kepala sekolah, teman sejawat, tenaga karyawan, tenaga kebersihan dan siswa. Alat yang dibutuhkan antara lain: tong sampah, engkrak sampah, penjepit sampah, maker, kaos tangan dan kantong plastik. Dengan dukungan tersebut harapannya aksi nyata ini akan berhasil dijalankan dengan baik.

Linimasa tindakan aksi nyata budaya jumput sampah dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Perencanaan Aksi Nyata Budaya Jumput Sampah.
  2. Koordinasi dengan Kepala Sekolah.
  3. Sosialisasi Program Aksi Nyata Budaya Jumput Sampah.
  4. Pembuatan Kesepakatan Kelas.
  5. Pelaksanaan dan Monitoring Aksi Nyata Budaya Jumput Sampah
  6. Seminar Aksi Nyata.
  7. Pembuatan Laporan.
  8. Refleksi Aksi Nyata Budaya Jumput Sampah.

Linimasa tersebut dimulai pada minggu ke 3 bulan Oktober 2021 sampai dengan minggu ke 3 bulan Nopember 2021.

Perencanaan aksi nyata budaya jumput sampah dilaksanakan pada bulan Oktober minggu ke 3. Dalam perencanaan ini kegiatan yang dilaksanakan diantaranya melakukan observasi dengan mengamati kebersihan lingkungan sekolah. Hasil dari observasi tersebut dijadikan dasar dalam menentukan jenis aksi nyata dan perencanaan program. Menyusun perencanaan aksi nyata selesai kemudian melakukan konsultasi dengan kepala sekolah. Konsultasi ini dilakukan pada minggu ke tiga bulan Oktober 2021 bertujuan untuk meminta masukan dan dukungan sebelum aksi nyata dilaksanakan.

Tahap selanjutnya yaitu sosialisasi program pada minggu keempat bulan Oktober 2021. Sosialisasi diberikan kepada siswa, guru dan karyawan. Kegiatan ini dilakukan supaya semua warga sekolah mengetahui adanya program budaya jumput sampah. Kesepakatan kelas dan sekolah  perlu diadakan setelah sosialisasi program. Pada tahap kesepakatan ini diadakan diskusi kelas untuk menyepakati nilai-nilai kebaikan yang ada pada budaya jumput sampah. Kesepakatan kelas/sekolah diperoleh keputusan: 1) siswa sepakat melakukan jumput sampah bila melihat sampah berserakan di dalam kelas/halaman kelas, 2) murid akan selalu membuang sampah pada tempatnya sesuai pemilahannya, 3) konsekuensi membuang sampah sembarangan diberikan teguran dengan sopan dan disuruh mengambil sampah kembali untuk dibuang di tempat sampah sesuai pemilahannya.

Khusus konsekuensi dalam kesepakatan kelas, penerapannya perlu menggunakan teori posisi kontrol guru dan restitusi. Guru dalam mengontrol pelanggaran yang dilakukan murid harus memposisikan diri sebagai manajer minimal sebagai pemantau, jangan sebagai teman atau membuat rasa bersalah atau penghukum. Jika murid ketahuan melanggar kesepakatan kelas diatasi dengan menerapkan restitusi. Restitusi sebuah cara menanamkan disiplin positif pada murid. Menurut Gossen restitusi adalah kondisioning murid untuk perbaiki kesalahan sehingga karakternya menjadi kuat. Restitusi juga merupakan proses kolaborasi mengajarkan murid mencari solusi untuk memecahkan masalah. Segitiga restitusi merupakan proses tahapan bagi murid untuk melakukan restitusi. Setiap tahap/langkah berdasarkan prinsip penting Teori Kontrol. Ketiga langkah tersebut adalah 1) Menstabilkan Identitas, prinsip teori kontrol pada langkah ini melakukan hal baik yang bisa kita lakukan. 2) Validasi tindakan yang salah, prinsip teori kontrol pada langkah ini adalah semua perilaku memiliki alasan. 3) Menanyakan keyakinan, prinsip teori kontrol pada langkah ini kita semua memiliki motivasi internal.

Tahap pelaksanaan dan monitoring aksi nyata dilakukan pada minggu ke 1 dan 2 bulan Nopember. Aksi nyata budaya jumput sampah ini melibatkan semua warga sekolah. Siswa selama berada disekolahan kalau melihat sampah yang ada dilingkungan halaman kelas dan dalam kelas langsung menjumput untuk dibuang ke bak sampah yang sudah disediakan sesuai pemilahannya. Guru juga memberikan teladan dengan ikut aksi jumput sampah di lingkungan sekolah. Dengan keteladanan guru, siswa akan tergerak mengikuti budaya jumput sampah tanpa harus di suruh. Program aksi nyata ini pelaksanaannya juga dimonitoring oleh kepala sekolah untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dan efektifitas program dalam mendukung visi sekolah terkaitan peduli lingkungan.

Tahap seminar aksi nyata ini dilakukan untuk mendapat masukan, saran, kritik dari teman sejawat dan kepala sekolah terkait dengan pelaksanaannya. Seminar ini dilaksanakan pada minggu ke dua bulan Nopember 2021 dihadiri oleh kepala sekolah dan teman sejawat. Dalam seminar ada beberapa teman sejawat memberikan pertanyaan dan saran. Saran yang diberikan diantaranya program aksi nyata jumput sampah ini perlu diadakan tindak lanjut terkait daur ulang sampah. Sedangkan pertanyaan yang muncul diantaranya mengapa budaya kebersihan ini lebih berhasil pada istansi swasta dibandingkan dengan instansi negeri. Seminar diakhiri dengan melakukan refleksi yang menghasilakan umpan balik terkait peserta belum paham tentang restitusi dan peserta sudah paham tentang maksud dan tujuan anksi nyata budaya jumput sampah. Tahap pelaporan dilakukan untuk wujud pertanggungjawaban dan mendokumentasikan suatu program kerja. Pelaporan ini dipakai juga bisa dipakai untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan program tindak lanjut. Selanjutnya pada tahap refleksi ini dirasa selama dua minggu itu ternyata belum cukup untuk membiasakan apalagi membudayakan warga sekolah untuk berperilaku jumput sampah dengan kesadaran dari diri sendiri. Program ini harus terus menerus dilaksanakan supaya warga sekolah menjadi terbiasa lama-lama menjadi budaya jumput sampah tercapai. Program ini juga terlaksana sesuai rencana sehingga memberikan dampak terhadap peningkatan kebersihan kelas dan halaman kelas. Mewujudkan budaya positif dalam rangka mencapai visi memang perlu perjuangan, semangat, dan konsisten serta perlu merubah paradigma. Penting kiranya dimulai dengan langkah aksi nyata perubahan walau sekecil apapun. Alangkah indahnya bila masing-masing guru melakukan aksi nyata yang terprogram demi mewujudkan budaya positif di sekolah sehingga murid menjadi nyaman aman dalam belajar.


BUDAYA POSITIF SEKOLAH

Oktober 21, 2021

BUDAYA POSITIF SEKOLAH

Oleh : Wardayadi

Tujuan Pendidikan menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Guru disini sebagai penuntun dan pendidikan sebagai tuntunan, maksudnya tumbuhnya anak itu diluar kehendak kita sebagai guru namun anak akan tumbuh sesuai dengan kekuatan kodratnya, Guru hanya bisa menuntun tumbuhnya kekuatan kodrat tersebut. Keadaan tersebut bisa dianalogikan seperti petani dalam merawat tanaman. Pak Tani tidak bisa mengubah tanaman padi tumbuh menjadi tanaman jagung. Pak Tani hanya bisa menuntun tumbuhnya padi dengan memperbaiki kondisi tanah, merawat tanaman padi dari hama dan memberi pupuk serta air. Jadi guru disini ibaratnya sebagai petani yang mempunyai peranan penting dalam menjadikan tanaman tumbuh kembang menjadi subur agar berbuah lebat.

Sekolah, menurut ilustrasi di atas merupakan lingkungan tempat untuk menuntun tumbuh kembang murid sesuai kodratnya dalam rangka mencapai keselamatan dan kebahagian setinggi-tingginya. Guru harus mengusahakan lingkungan sekolah yang menyenangkan, nyaman, melindungi, dan berpihak pada murid. Kondisi lingkungan sekolah seperti itu merupakan lingkungan yang positif untuk terus diwujudkan. Sekolah juga tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat terutama budaya-budaya positif. Budaya sekolah merupakan nilai-nilai dan keyakinan baik yang terbentuk dalam jangka waktu yang lama, membutuhkan proses, semangat dan konsistensi dalam mewujudkannya. Budaya positif sekolah dapat diartikan sebagai nilia-nilai, keyakinan, ataupun kebiasaan baik di sekolah, yang diharapkan dapat memberikan iklim terwujudnya visi impian murid yaitu berprestasi dan berkarakter pancasila. Membiasakan berperilaku yang baik akan membentuk budaya positif di sekolah. Untuk membentuk budaya positif perlu disepakati nilai-nilai kebajikan oleh semua warga sehingga menjadi kesepakatan kelas. Niali-nilai kebajikan yang disepaki tersebut tentunya harus mengarah pada visi sekolah.

Guru dalam mewujudkan budaya positif disekolah maupun kelas mempunyai peran yang sangat penting. Guru dapat menentukan pendekatan atau setragi yang lebih efektif untuk wujudkan budaya positif tersebut. Guru memberikan contoh yang positif dalam hal perkataan, perbuatan dan berinteraksi dengan semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodo”. Guru memberikan motivasi positif dan mengontrol murid dalam bertindak dengan menerapkan “Ing Madyo Mangun Karso”. Dan “Tut Wuri Handayadi”, guru memberikan dorongan semangat untuk menjalankan nilai-nilai kebajikan. Peran lain yang tidak kalah penting dalam mendukung budaya positif yaitu guru berperan sebagai pemimpin pembelajar, menggerakkan komunitas parkatisi, menjadi pelatih guru lain, mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid. Peran tersebut akan mewarnai budaya positif di sekolah. Guru dalam proses mewujudkan budaya positif sekaligus penuntun murid harus mempunyai nilai-nilai diri yang mandiri, inovatif, kolaboratif, berpihak pada murid dan reflektif. Nilai-nilai ini menjadi landasan kokoh guru dalam mewujudkan budaya positif di sekolahan maupun kelas.

Budaya positif sekolah tidak akan terwujud tanpa adanya disiplin positif. Disiplin positif yang dimaksud disini adalah disiplin diri yang mempunyai motivasi intrinsik bukan motivasi ekstrinsik sehingga perilakunya berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal. Menurut Ki Hajar Dewantara “dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat”. Jadi makna dalam konteks pendidikan adalah disiplin diri dari dalam yang kuat merupakan syarat utama menciptakan murid yang merdeka yakni murid yang bebas namun bertanggung jawab. Disiplin diri mempelajarai bagaimana cara mengontrol diri, bagaimana menguasai diri untuk memilih tidakan yang mengacu pada nilai-nilai kebajikan yang kita hargai.

Disiplin positif disini tidak hanya untuk murid namun mengikat semua warga sekolah. Guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan harus membiasakan berperilaku disiplin yang termotivasi dari dalam diri sebagai teladan bagi murid. Misalanya memberi contoh disiplin tepat waktu dalam menjalankan tugasnya. Disiplin positif menjadikan cara untuk mewujudkan murid yang bertanggung jawab, kritis dan penuh hormat serta terus berubah menjadi lebih baik. Praktik disiplin positif di sekolah digunakan untuk menegakkan keyakinan kelas/sekolah yang sudah disepakati bersama sehingga budaya positif sekolah terwujud. Namun menurut Diane Gossen guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam kelas, apakah sudah efektif, memandirikan, memerdekakan murid? Apakah justru murid akan merasa sebaliknya menjadi rendah diri, marah atau dendam? Murid melakukan kesalahan biasanya ingin memenuhi kebutuhan dasar mereka namun dengan hal-hal yang negatif. Hal negatif dilakukan karena untuk memenuhi dengan hal positif tidak bisa dilakukan. Kebutuhan dasar tersebut adalah bertahan hidup, cinta dan kasih sayang, kebebasan, kesenangan, kekuasaan. Perilaku muridpun juga mempunyai beberapa motivasi diantaranya untuk menghindarai dari hukuman, untuk mendapat imbalan/penghargaan, untuk menjadi orang yang mereka inginkan dengan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai kebajikan. Pengetahuan tentang motivasi dan kebutuhan dasar tersebut kita jadikan landasan untuk bertindak dalam menerapkan disiplin positif.

Disiplin positif murid perlu adanya kontol yang dilakukan guru. Disarikan dari teori Kontrol Dr. William Glasser, menurut Gossen ada 5 posisi kontrol yang diterapkan guru dalam mendisiplinkan murid yaitu guru sebagai penghukum; guru sebagai pembuat orang merasa bersalah; guru sebagi teman, guru sebagai pemantau; dan terakhir guru sebagai manajer. Posisi kontrol guru sebagai penghukum biasanya kalau ada murid yang melanggar akan memberikan hukuman fisik atau verbal, hal ini mengakibatkan murid bisa dendam dan marah. Posisi kontrol guru sebagai pembuat orang merasa bersalah, pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lembut dan hening sehingga suasana menjadi tidak nyaman, orang merasa bersalah, rendah diri. Kata-kata yang dipakai biasanya “ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”. Efeknya murid akan menilai dirinya buruk, bersalah, tidak berharga dan telah mengecewakan orang-orang yang disayangi. Posisi kontrol guru sebagai teman, posisi ini guru tidak akan menyakiti murid namun tetap bisa mengontrol secara persuasif. Guru memanfaatkan hubungan baiknya dengan murid. Kata-kata yang dipakai guru biasanya “ya sudah kali ini tidak apa-apa, nanti aku bantu bereskan”. Posisi ini mempunyai efek negatif yaitu bila suatu saat guru tidak membantu murid akan menjadi kecewa dan tidak mau berusaha disiplin dan murid akan menurut hanya pada guru-guru tertentu. Posisi kontrol guru sebagai monitor, posisi ini guru tanggung jawab mengawasi perilaku murid terhadap peraturan yang berlaku dan konsekwensinya. Kata-kata yang digunakan biasanya “peraturannya apa?”, “sanksi/konsekwensinya apa?” efeknya bagi murid akan lebih disiplin karena ada konsekuesi bila melanggar. Posisi guru sebagai manajer, posisi ini guru berbuat sesuatu bersama murid, mempersilahkan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, memotivasi murid menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi dan tidak ada penekanan konsekuensi, efeknya murid menjadi manajer dari dirinya sendiri dalam menghadapi permasalahan.

Lima posisi kontrol tersebut, guru hendaknya memilih menjadi posisi manajer atau minimal sebagai monitor dalam praktik disiplin positif di kelas/sekolah. Usahakan hindari posisi sebagai teman, pembuat orang merasa bersalah dan penghukum. Penanaman disiplin positif di sekolah perlu diupayakan dengan restitusi. Restitusi sebuah cara menanamkan disiplin positif pada murid. Menurut Gossen restitusi adalah kondisioning murid untuk perbaiki kesalahan sehingga karakternya menjadi kuat. Restitusi juga merupakan proses kolaborasi mengajarkan murid mencari solusi untuk memecahkan masalah. Segitiga restitusi merupakan proses tahapan bagi murid untuk melakukan restitusi. Setiap tahap/langkah berdasarkan prinsip penting Teori Kontrol. Ketiga langkah tersebut adalah 1) Menstabilkan Identitas, prinsip teori kontrol pada langkah ini melakukan hal baik yang bisa kita lakukan. 2) Validasi tindakan yang salah, prinsip teori kontrol pada langkah ini adalah semua perilaku memiliki alasan. 3) Menanyakan keyakinan, prinsip teori kontrol pada langkah ini kita semua memiliki motivasi internal.

Segitiga restitusi diterapkan kepada murid yang mengalami permasalahan atau sering melanggar kesepakatan kelas/sekolah. Berikut contoh penerapan segitiga restitusi dengan posisi kontrol guru sebagai manajer:

Seminggu ini ada beberapa anak yang sering terlambat masuk sekolah, diantaranya Adia Kelas XI MIPA 3 dan Diki Kelas XII IPS 3. Mereka dalam seminggu sudah terlambat masuk kelas sampai 2 kali. Kedua anak tersebut menjadi perhatian saya karena melakukan pelanggaran kesepakatan sekolah/kelas. Kedua anak tersebut pada waktu terlambat hanya saya tegur dengan saya ingatkan untuk jangan diulangi. Namun setelah hari berikutnya (Jumat, 15 September 2021) Diki mengulangi lagi terlambat masuk sekolah. Diki kamu terlambat lagi ya?  Diki hanya tersenyum dan diam. Sudah berapa kali nak dalam seminggu ini terlambatnya? Jawab Diki dengan suara tidak keras, Saya sudah terlambat 3 kali pak. Begitu ya. Gimana kalau nanti pada jam istirahat kita ngobrol di ruang saya ya? Untuk membicarakan masalah keterlambatanmu ini, mau kan untuk melakukan restitusi ini? Mas Diki tidak keberatankan? Tidak pak, Jawab Diki. Baiklah sekarang silahkan masuk kelas ya. Siap Pak. Tepat jam istirahat, Saya menunggu kehadiran Diki seperti kesepakatan kami berdua untuk ngobrol bareng. Tak lama kemudian Diki datang dan saya persilahkan masuk ke ruang saya. Silahkan masuk dan duduk ya mas! Obrolan kami membahas tentang alasan kenapa terlambat dan usaha perbaiakan kesalahan Diki yang sering terlambat masuk kelas. Akhirnya pada obrolan tersebut Diki menyadari kesalahannya dan berniat dalam hati tidak akan mengulangi lagi. Kesadaran Diki termotivasi dari pentingnya nilai kabajikan tepat waktu dan menghargai waktu yang sudah menjadi kesepakatan kelas.

Ilustrasi kasus tersebut, Diki berhasil menyadari kesalahannya dan berusaha tanpa tekanan serta paksaan untuk hadir masuk sekolah tepat waktu. Perubahan kehadiran Diki di sekolah yang tepat waktu itu merupakan motivasi dari dalam diri diki bukan dari luar.

Kesimpulan: Alangkah indahnya bila sekolah dapat mewujudkan budaya positif dengan berpijak pada landasan dan ketentuaan-ketentuan yang sudah diuraikan di atas, tentang tujuan pendidikan, pemikiran filosofi Ki Hajar Dewantara, visi murid impian, kesepakatan kelas, peran dan nilai guru, posisi kontrol, disiplin positif, dan restitusi. Mari dengan bekal semangat Ki Hajar Dewantara yang ingin mewujudkan murid yang mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, kita sebagai guru mari mari ikut berperan ciptakan lingkungan sekolah yang mempunyai budaya positif.

Refleksi: Sebagai guru yang telah memahami filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara harus belajar terus menerus untuk mendapatkan nilai-nilai sebagai guru yang mandiri, kolaboratif, inovatif, berpihak pada murid dan reflektif. Nilai ini dijadikan landasan untuk peran guru menjadi pemimpin pembelajar, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, dan mewujudkan kepemimpinan murid. Nilai dan peran tersebut sebagai modal besar guru dalam mewujudkan budaya positf di lingkungan sekolah sehingga tercipta suasana merdeka belajar bagi murid yang pada akhirnya visi sekolah dan visi impian murid tercapai. Mewujudkan budaya positif dalam rangka mencapai visi memang perlu perjuangan, semangat, dan konsisten serta perlu merubah paradigma. Penting kiranya dimulai dengan langkah aksi nyata perubahan walau sekecil apapun.


KONSEP PENDIDIKAN MENURUT KI HAJAR DEWANTARA

Agustus 28, 2021

Ki Hajar Dewantara, Beliau seorang tokoh pendidikan bahkan menjadi Bapak Pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara hidup pada massa penjajahan Belanda sehingga sangat merasakan pendidikan pada massa kolonial. Pendidikan pada massa kolonial hanya diberikan pada calon-calon pegawai serta anak-anak bangsawan, sehinnga dapat dikatakan tidak berpihak pada rakyat pribumi. Pendidikan untuk rakyat pribumi hanya diberikan pengetahuan berhitung membaca menulis seadanya untuk bekal berdagang dan kerja paksa. Kondisi inilah mendorong Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa untuk mereformasi pendidikan. Konsep Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara haruslah memerdekakan kehidupan manusia. Pendidikan mesti disandarkan pada penciptaan jiwa merdeka, cakap dan berguna bagi masyarakat. merdeka baik secara fisik, mental, dan kerohanian. Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu  menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara tidak sekedar mentransfer pengetahuan saja atau mencerdaskan saja namun pendidikan punya makna yang luas yaitu mentransfer nilai, bahkan pendidikan juga disebut sebagai kebudayaan. Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab, manusia yang mampu menggali potensi,kreatif,inovatif  dan berkarakter, maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan harus menyeluruh artinya pendidikan harus mengembangkan cipta, karsa sehingga mengkasilkan kaya, tiga hal tersebut merupakan esensi penting dari Budi Pekerti. Namun saat ini kadang dunia pendidikan kita hanya fokus mengembangkan cipta (kognitif) saja sehingga tidak heran bila manusia yang pintar hanya untuk minteri.

Pendidik, supaya mengemban amanah dengan baik dibekali semboyan yang terkenal dengan Trilogi Pendidikan yakni Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani. Makna dari semboyan tersebut, seorang guru bila berada di depan anak-anak sebagai pimpinan kelas harus memberi teladan ada pepatah guru itu digugu dan ditiru, seorang guru bila berada di tengah-tengah anak didik harus bisa memberikan motivasi, dan bila guru berada di belakang harus bisa memberikan dorongan dan mendoakan. Adapun Bahan materi yang diberikan menurut Ki Hajar Dewantara diutamakan Budi Pekerti, sedangkan metode yang digunakan dengan metode Among. Among (emban) memiliki pengertian menjaga, membina, dan mendidik anak dengan kasih sayang, membimbing sang anak dengan ikhlas sesuai bakat dan minat yang di asuh , memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Metode among juga  dikenal dengan “Metode pengajaran dan Pendidikan berdasarkan Asih, Asah, dan Asuh.”

Apa yang saya percaya tentang murid dan pembelajaran di kelas sebelum saya mempelajari modul 1.1?

Pertama. Pandangan saya tentang murid juga percaya adanya perbedaan karakteristik namun dalam praktik pembelajaran di kelas masih menganggap sebagian besar sama, sehingga proses pembelajarannya tidak memandang adanya perbedaan. Praktik pembelajaran tersebut ternyata kurang disenangi oleh murid sehingga murid kurang merasa terpenuhi kebutuhan belajarnya. Disini saya belum memandang murid itu mempunyai kodrat alam dan kodrat zaman. Kedua. Masih berorientasi output yang belum holistik terutama hanya kognitif sehingga proses pembelajaran hanya sebagian dril latihan soal. Ketiga. Proses pembelajaran masih terpusat pada guru, disini murid masih dianggap sebagai obyak sehingga kurang mendorong munculnya kreatifitas dan keaktifan murid. Keempat. Saya masih berperan hanya sebagai pengajar dikelas sehingga memandang murid hanya menjadi tempat transfer pengetahuan saja yang sifatnya searah dari guru ke murid. Kelima. Proses pembelajaran saya memunculkan bayak tugas namun bayak murid yang tidak mengumpulkan tugas yang saya berikan. Saya berusaha menagih dengan mengitimidasi nilai tidak saya berikan.

Apa yang berubah dari pemikiran atau perilaku saya setelah mempelajari modul ini ?

Perubahan pemikiran atau perilaku saya setelah mempelajari modul 1.1 antara lain

Pertama. Murid mempunyai latar belakang karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan kondrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan sedang kodrat zaman berkaitan isi dan irama perkembangan zaman. Pemahaman baruku tentang murid juga mendorong perubahan proses pembelajaran di kelas dengan berorientasi sesuai kebutuhan kodrat anak. Salah satu kodrat anak yaitu kodrat bermain, maka proses pembelajaran dengan model permainan akan diminati oleh murid. Kedua. Perubahan proses pembelajaran dilaksanakan dengan berpusat pada anak, disini terjadi komunikasi dua arah, mendorong siswa berkomunikasi aktif, kreatif, mandiri. Guru juga menerapkan semboyan Ki Hajar Dewantoro tentang Trilogi Pendidikan. Ketiga. Pembelajaran dalam kelas harus secara holistic mengembangkan potensi yang dimiliki murid. Cipta (kognitif), karsa (afektif) dan Karya (psykomotorik) harus seimbang dikembangkan semua, tidak hanya berfokus pada salah satu aspek saja. Untuk mewujudkan itu dibutuhkan penerapan model pembelajaran yang bisa mendorong perkembangan cipta, karsa dan karya. Keempat. Guru tidak hanya sebagai pengajar saja namun guru sebagi pengajar dan pendidik. Guru tidak hanya sekedar transfer pengetahuan namun juga menuntun murid dalam penanaman nilai-nilai kebaikan. Kelima. Pemberian panismen dengan intimidasi ternyata menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara tidak diperbolehkan, namun dengan memberikan pembimbingan model swa disiplin, maksudnya murid dibuat sadar akan kelasahannya dan diberi tahu apa akibatnya.  

Apa yang bisa segera saya terapkan lebih baik agar kelas saya mencerminkan pemikiran KHD?

Saya menerapkan model pembelajaran dengan permainan, model ini berorientasi membuat siswa aktif kreatif, inifatif, menyenangkan dan mendorong kemandirian murid. Model ini sangat cocok dengan pemikiran Ki Hajar Dewantoro terkait kodrat alam dari anak yang suka bermain. Pada pelaksanaan model ini juga bisa disisipkan tentang semboyan Trilogi Pendidikan, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso Tutwuri Handayani.

Kesimpulan. Pendidikan dilaksanakan sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman, guru disini hanya memberi tuntunan kepada murid dalam mencapai keselamatan dan kebahagian setinggi-tingginya sebagi manusia individu maupun sebagai bagian dari masyarkat. Proses menuntun anak memakai berbagai model pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik anak sehingga anak merasa menyenangkan dalam proses pembelajaran dan tidak merasa terbebani sehingga merasa merdeka belajar. Proses menuntun anak juga menerapkan semboyan Trilogi Pendidikan dan sistem among. Dengan perubahan pengajaran dan pendidikan akan menjamin tercapainya budi pekerti siswa yang mulia, bijaksana dan pada akhirnya menjadi pelajar pancasila.

Penulis : Wardayadi SMA Negeri 1 Bambanglipuro

CGP Angkatan 3


DESAI KERANGKA PEMBELAJARAN”MERDEKA BELAJAR”

Agustus 23, 2021

PERMINTAAN DAN PENAWARAN

November 7, 2012

Permintaan & Penawaran